LIDIK NEWS. COM | ALOR – Adat istiadat adalah salah satu bentuk keberagaman budaya yang harus dilestarikan. Di tengah tantangan modernisasi dan arus globalisasi, identitas kearifan lokal adalah fondasi untuk menciptakan kemajuan suatu bangsa yang berkarakter.
Dalam aktivitas politiknya, Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) nomor urut satu Yohanis Fransiskus Lema atau yang lebih dikenal sebagai Ansy Lema menyempatkan diri mengunjungi Kampung Adat Takpala yang terletak di Desa Lembur Barat, Kecamatan Alor Tengah Utara, Kabupaten Alor, pada Sabtu (26/10/24).
Alasan pasangan Jane Natalia Suryanto ini mengunjungi kampung adat yang jaraknya tak terlalu jauh dari pusat Kota Kalabahi ini mendasar. Dirinya memegang teguh kepedulian pada adat istiadat dan budaya.
“Kita harus peduli pada adat istiadat dan budaya. Kita tidak boleh lupa. Budaya adalah identitas, jati diri orang NTT. Kemajuan NTT harus merupakan kemajuan yang berkarakter budaya,” ucap Ansy Lema.
Di Kampung Adat Takpala terdapat tiga suku, yaitu Suku Marang, Suku Aweni, dan Suku Kapitang. Ketiga suku ini tinggal dalam naungan Fala Foka, sebutan untuk rumah adat di kampung tersebut.
Di kampung ini, terdapat 13 rumah adat yang terbagi menjadi tiga jenis dengan tingkat kesucian yang berbeda. Yang pertama bernama Fala Foka, berjumlah 13 rumah, rumah ini adalah tempat tinggal masyarakat adat. Yang kedua adalah Kolwat yang berarti perempuan, rumah adat ini memiliki tingkat kesucian yang lebih tinggi dari rumah Fala Foka. Kolwat juga bisa dimasuki oleh semua warga kampung setempat.
Yang ketiga adalah Kanuruat, yang berarti laki-laki. Rumah Kanuruat ini memiliki tingkat kesakralan yang lebih besar dari Fala Foka dan Kolwat.
Kanuruat hanya buka satu kali setiap tahun yakni pada tanggal 20 Juli. Dibukanya Rumah Kanuruat ini menandakan musim tanam yang baru telah tiba. Rumah Kanuruat hanya bisa dimasuki oleh tokoh-tokoh adat tertentu.
Selain menyimpan kearifan lokal dan peninggalan-peninggalan bersejarah, Kampung Adat Takpala juga memiliki produk-produk Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) yang lahir dari tangan-tangan kreatif mama-mama penenun, seperti kain tenun khas Alor, pae-pae (ikat kepala untuk laki-laki) yang terbuat dari bulu ayam jantan, dan kiti-kiti (ikat kepala perempuan) yang terbuat dari anyaman daun lontar.
Gelang, rantai hingga ikat pinggang yang berasal dari kekayaan alam sekitar seperti, batu hitam, kayu kenari, biji pisang hutan, biji gandum, kulit kea (penyu), akar bahar, gading, hingga tulang ikan hiu. Pernak pernik yang berasal dari fosil hewan seperti, tanduk kerbau, ikan buntal, kaki ayam hutan hingga tanduk rusa juga dibuat oleh mama-mama Kampung Adat Takpala.
“Pariwisata NTT harus berbasis pada budaya. Segala bentuk kerajinan tangan yang dibuat oleh mama-mama ini adalah modal budaya yang kuat dan harus kita lestarikan. Kita perlu membuat ekosistem yang baik agar pariwisata berbasis budaya di NTT berkembang,” terang Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI tersebut.
Sayangnya, di balik warisan adat istiadat dan budaya tersebut, Kampung Adat Takpala menghadapi masalah serius, yakni krisis generasi penerus. Salah seorang tokoh adat setempat, Jangkar Takpala mengungkapkan bahwa saat ini kesadaran anak muda akan keberadaan kampung adat terkikis rasa gengsi.
“Saya lihat anak muda sekarang ini, kalau berpakaian seperti ini (pakaian adat) itu mereka gengsinya minta ampun, apalagi disuruh urus Kampung Adat Takpala. Padahal, anak muda ini adalah generasi penerus kita,” tutur Jangkar.
Menurut Anggota Suku Marang ini, Kampung Adat Takpala membutuhkan perhatian serius dari pemerintah. Jika pemerintah tidak memberikan perhatian, maka jejak kampung ini bisa hilang. Artinya, salah satu identitas budaya NTT terancam lenyap.
Menanggapi persoalan tersebut, Ansy Lema menjelaskan bahwa keberadaan Kampung Adat Takpala yang di dalamnya terkandung local wisdom atau kearifan lokal yang diwariskkan oleh para leluhur, merupakan sebuah kebanggaan bagi masyarakat Alor. Untuk itu, sudah sepatutnya Kampung Adat ini mendapatkan perhatian dari pemerintah daerah untuk terus dijaga keberadaannya.
“Kampung Adat Takpala ini adalah salah satu simbol peradaban orang Alor dan tentu menyimpan nilai-nilai luhur, ini harus kita lestarikan, harus kita jaga. Kita harus mempersiapkan generasi penerus lewat berbagai edukasi,” tegas Alumni Pascasarjana Universitas Indonesia (UI) itu.
Lebih lanjut, Politisi PDI Perjuangan ini menjelaskan bahwa Pulau Alor tidak hanya memiliki keindahan laut dan pegunungan. Namun, kebudayaan yang dimilikinya juga cukup kaya. Salah satunya adalah Kampung Adat Takpala.
Oleh sebab itu, ketika terpilih menjadi Gubernur NTT, pria dengan tagline “Manyala Kaka” tersebut akan memberdayakan pembangunan pariwisata di Kampung Adat ini. Dirinya juga menjelaskan bahwa pembangunan yang dilakukan harus melibatkan masyarakat adat setempat (community based eco-tourism).
Ia menyebutnya sebagai pariwisata berbasis komunitas. Pemihakan terhadap pariwisata berbasis komunitas adalah cara pria berdarah Ende-Belu ini untuk memastikan para kelompok adat tidak tersingkirkan dari proyek pembangunan pariwisata skala besar.
“Ingat bahwa kita tidak boleh melupakan adat, tidak boleh melupakan budaya. Masyarakat adat harus kita rangkul, kita lestarikan. Merekalah yang menjadi penjaga keberlangsungan alam dan lingkungan. Pariwisata kita harus mengedepankan unsur adat dan budaya, juga ekologi. Inilah yang dinamakan NTT Berkarakter,” tutupnya.***