
LIDIK NEWS. COM | KUPANG – Kejaksaan Negeri Lembata Kamis (27/10) di Lewoleba menetapkan 3 tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan kapal Phinisi Aku Lembata. Ketiga tersangka yakni MF selaku PPK, PB selaku Pengguna Anggaran, dan H.AM selaku penyedia.
Selanjutnya tersangka MF dan PB dilakukan penahanan dan ditempatkan di rutan untuk 20 hari kedepan yang dititipkan di Polres Lembata. Sedangkan untuk tersangka H.AM tidak dilakukan penahanan karena sedang menjalani pidana di Lapas klas 1 Makassar.
Akhmad Bumi melalui Press Releas yang diterima media ini, Rabu, (2/11/22) di Kupang menjelaskan penetapan tiga tersangka dalam kasus kapal Phinisi Aku Lembata oleh Kejaksaan Negeri Lembata belum lengkap.
”Belum lengkap penetapan tersangka. Peristiwa hukum atas kasus itu perlu dirunut dari awal, biar terarah dan lebih jelas peristiwanya. Ada pencairan uang muka menggunakan DAU. Siapa yang bertanggungjawab atas pencairan uang muka Rp 600 juta? Disaat Pengguna Anggaran (PA) siapa cairnya uang muka itu? Atas perintah siapa menggunakan DAU untuk membayar proyek DAK?
Keterangan PPK di media menyebutkan, ada pencairan uang muka pembayaran kapal yang terjadi pada tahun 2019 senilai Rp 600 juta yang berkasnya diberikan kepada PPK dan PPK melanjutkan ke Paskalis Ola Tapobali. Karena sistem tolak karena pemberlakuan pengadaan kapal sama dengan pengadaan mobil, yakni barang dibeli dan dibayar sekaligus. Maka atas kebijakan almarhum mantan Bupati Eliayaser Yentji Sunur dan Paskalis Ola Tapobali tetap membayar uang muka itu menggunakan dana DAU dalam APBD Lembata”, jelasnya.
”Penyidik perlu mendalami proses uang muka ini. Proyek DAK (dana alokasi khusus) tapi membayar menggunakan DAU (dana alokasi umum), ada masalah. Semua itu sudah ada dalam DPA (dokumen pelaksanaan anggaran) tinggal didalami, atas kemauan siapa dan siapa yang harus dimintai pertanggungjawaban hukum?.
SPJ (surat pertanggungjawaban) dan SPM (surat perintah membayar) uang muka harus disita penyidik. SPM itu hanya ditandatangani Pengguna Anggaran (PA), bukan pejabat lain. Beli kapal itu belanja langsung (LS), jadi harus 100% baru anggaran cair.
Penyedia jasa harus menyiapkan kapal terlebih dahulu sesuai kontrak. Setelah diperiksa fisik dan dokumen kapal sudah lengkap baru realisasi 100%. Beli kapal harus dengan uang penyedia, karena penyedia menang tender, bukan menggunakan DAU. Hal itu termuat dalam kontrak. Ini pengadaan barang bukan pembangunan konstruksi.
Apa SPJ dan SPM uang muka sudah disita penyidik? Kenapa bendahara harus membayar, waktu membayar apa sudah memeriksa progres fisik dan kelengkapan dokumen kapal, atas perintah siapa dan atas tanda tangan siapa dalam dokumen surat perintah membayar (SPM)? Biar mengungkap kasus ini tidak setengah-setengah”, tulis mantan Anggota DPRD Lembata 2004-2009 ini.
Asal tahu, pada Tahun 2019, Dinas Pekerjaan Umum, Penataan Ruang dan Perhubungan Kabupaten Lembata mendapatkan alokasi DAK Afirmasi Transportasi dari Kemendes RI senilai Rp 2.508.056.000,00.
Dalam proses pengadaan kapal atas proyek dana DAK bermasalah. Kejaksaan melakukan penyelidikan dan penyidikan. Telah diperiksa sebanyak 33 orang saksi, 6 orang ahli, dan menyita beberapa dokumen terkait pengadaan Kapal Rakyat (DAK) Transportasi pada Dinas PUPRP Kabupaten Lembata TA 2019.
“Dan ditemukan beberapa item-item pekerjaan yang tidak sesuai dengan kontrak dan berdasarkan penghitungan kerugian Negara oleh Akuntan Publik terdapat kerugian keuangan Negara senilai Rp 700.595.100,00 (Tujuh Ratus Juta Lima Ratus Sembilan Puluh Lima Ribu Seratus Rupiah),” ungkap Kepala Kejaksaan Negeri Lembata, Azrijal kepada wartawan Kamis (27/10). (*Akhmad Bumi.)




















