LIDIK NEWS. COM | KUPANG – Setiap warga negara Indonesia memiliki hak yang sama untuk mengakses layanan publik, tidak terkecuali bagi para penyandang disabilitas. Keterbatasan akses pada layanan publik yang ramah terhadap mereka yang memiliki keterbatasan fisik menjadi pekerjaan rumah yang harus diselesaikan pemerintah.
Berli, salah satu penyandang disabilitas tuna rungu dari Komunitas Teman Tuli Kota Kupang dalam diskusinya bersama Calon Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Yohanis Fransiskus Lema atau Ansy Lema mengatakan, ketersediaan Juru Bahasa Isyarat (JBI) di rumah sakit terbilang minim. Akibatnya, para penyandang disabilitas yang berobat ke rumah sakit sulit untuk menjelaskan keluhan tentang penyakit yang sedang mereka alami kepada perawat dan dokter.
“Saya kerja di Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Ben Mboi sebagai karyawan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (P3K) dari disabilitas, jadi saya tahu. Saya berharap rumah sakit bisa memberikan akses bagi JBI agar teman-teman tuli ketika ke rumah sakit bisa berkomunikasi dengan dokter dan perawat,” ujar Berli (15/10/24).
Selanjutnya, perempuan asal Kediri ini menjelaskan harus ada video bahasa isyarat tentang kesehatan yang diputar di berbagai rumah sakit. Adanya video ini memudahkan kaum tuna rungu untuk mengetahui penyakit yang sedang mereka alami, dan juga mendapatkan akses edukasi tentang kesehatan.
Mario Lado selaku Ketua Komunitas Teman Tuli Kota Kupang menambahkan, pemerintah harus menjadi pemerintah yang sadar dan peduli terhadap penyandang disabilitas. Setiap instasi pemerintah mulai dari rumah sakit dan sekolah harus memiliki JBI.
“Misalnya tenaga medis, staf rumah sakit, dokter dan perawat harus dilatih menjadi JBI. Instruktur atau pelatihnya adalah dari komunitas kita. Sehingga ketika kita datang ke rumah sakit, kita bisa berbicara kepada dokter dan perawat yang menjadi JBI. Kita ini setara dengan non disabilitas,” terang Mario.
Menanggapi permasalahan ini, Ansy Lema menjelaskan kaum disabilitas adalah kelompok rentan yang tidak boleh mengalami diskriminasi. Harus ada keberpihakan dan perlindungan dari pemerintah agar penyandang disabilitas memperoleh perhatian yang layak, optimal, dan bermartabat dalam pelayanan publik.
Dalam konteks ini, JBI memiliki peran penting. JBI harus ada di instansi atau lembaga terkait pelayanan publik seperti rumah sakit dan kampus. Karena itu, mantan dosen ini menekankan perlu adanya pilot project atau proyek percontohan yang menjadi bentuk implementasi awal mengenai JBI.
“Harus ada pilot project di berbagai tempat. Misalnya Universitas Nusa Cendana (Undana). Kita bisa kerja sama dengan Undana sebagai pilot project. Lalu, kita juga bisa lakukan pilot project dengan rumah sakit negeri yang ada di Kota Kupang seperti RSUP dr. Ben Mboi. Ini harus bisa kita lakukan,” jelas Ansy Lema.
Mantan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI ini mengaku, ketika dirinya nanti terpilih menjadi Gubernur NTT, dia akan mendorong adanya peraturan daerah (perda) yang memasukkan unsur JBI dan bisa diterapkan di seluruh kabupaten/kota. JBI harus ada dalam instasi atau lembaga terkait pelayanan publik. Kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan berbagai pihak akan ia upayakan.
Menurut Ansy, dalam lima program NTT Manyala yang ia usung, terdapat program NTT Pertiwi yang menyasar kelompok rentan, yaitu perempuan, anak, dan kaum disabilitas. Pria yang berpasangan dengan Jane Natalia Suryanto ini menginginkan kelompok rentan mendapat perhatian khusus selama kepemimpinannya sebagai gubernur kelak.
“Terhadap kelompok rentan ini saya akan berjuang. Harus ada keberpihakan dan perlindungan. Saya memiliki visi misi besar bagi kaum perempuan, anak, dan disabilitas,” tutup pria dengan tagline “Manyala Kaka” ini.***