Lidik News.Com | Larantuka – Richardus Ricky Leo, seorang Nasabah PT. Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) Bina Usaha Dana Larantuka, Kabupaten Flores Timur (Flotim) mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Larantuka, akibat merasa tertekan atas pinjaman yang belum jatuh tempo. Namun pihak BPR telah menyita dan akan melelang asset jaminan miliknya.
Kasus ini bermula dari kredit yang diajukan Richardus Ricky Leo selaku nasabah,28 september 2018 kepada BPR Bina Usaha Dana sebesar Rp.500.000.000 dengan jaminan sertifikat tanah dimana angsuran perbulan sebesar Rp.15.000.000 selama 3 tahun.
Pinjaman tersebut kemudian mengalami macet pembayaran angsuran karena ada kecelakaan di sertai dengan Kurang pemasukan pada musim pandemi Covid 19.
Richardus Gugat PT. BPR Bina Usaha Dana ke Pengadilan Negeri Larantuka, pasalnya merasa tertekan atas pinjaman yang belum jatuh tempo. Namun pihak BPR telah menyita dan akan melelang asset jaminan miliknya.
Kasus ini bermula dari kredit yang diajukan Richardus Ricky Leo nasabah, pada 28 september 2018 kepada BPR Bina Usaha Dana sebesar Rp.500.000.000 dengan jaminan sertifikat tanah dimana angsuran perbulan sebesar Rp.15.000.000 selama 3 tahun.
Pinjaman tersebut kemudian mengalami macet pembayaran angsuran karena ada kecelakaan di sertai dengan Kurang pemasukan pada musim pandemi Covid 19.
Bernadus Platin, Kuasa Hukum Richardus mengatakan, perjalanan proses sidang terhadap penetapan proses eksekusi jaminan pinjaman Nasabah di BPR Bina Usaha Dana sejauh ini sudah sampai pada tingkat pembuktian.
Menurutnya, proses pengkreditan itu harus dilihat jangka waktu dari awal kredit dan jatuh tempo pembayaran. Karena itu, jika mengacu pada perjanjian kredit antara Nasabah sebagai debitur dan BPR sebagai kreditur, dihitung proses awal peminjaman sejak 28 september 2018 sampai jatuh tempo pada 28 september 2021 maka penetapannya telah mendahului jatuh tempo.
“Kalau dilihat dari aspek hukum murni, pihak BPR BUD mengajukan permohonan ke pengadilan dan pengadilan menetapkan permohonan eksekusi ini hanya mengacu pada one prestasi atau penunggakan yang tidak dibayar beberapa bulan oleh debitur kepada kreditur”, ujarnya.
Ia menjelaskan, penetapan sita eksekusi akan ditindaklanjuti dengan proses pelelangan terhadap barang agunan berupa sertifikat sebagai barang agunan sampai pada jatuh tempo pembayaran atau dilakukan apabila sudah jatuh tempo atau ada kesepakatan lain, bukan mengacu pada one prestasi.
Dirinya juga mengungkapkan sejauh ini telah ada itikad baik yang diupayakan oleh debitur dengan membayar angsuran pada November 2020 sebesar Rp.100.000.000, namun pihak BPR menolak dengan alasan yang tidak jelas.
“Mengacu pada UU OJK, jika debitur masih mempunyai itikad baik dan mampu membayar cicilan kreditnya, maka akan dibuatkan rescedulle pembayaran ulang, itu diberikan ruang ketentuan oleh OJK dan sangat jelas” jelasnya.
Di lain pihak, dikatakannya, pengadilan menetapkan sita eksekutif berdasarkan permohonan yang diajukan oleh BPR, berdasarkan UU NO 4 tahun 1996, pengadilan tidak perlu melakukan penetapan sita eksekusi dan baru ada proses pelelangan, sehingga pihak yang dinyatakan menang proses lelang akan mengajukan ke pengadilan untuk eksekusi.
“Penetapan eksekusi berdasarkan data apa, justru itu yang membuat kami melakukan gugatan perlawanan” sambung Platin.
Ia berharap adanya ruang antara pihak BPR dan para nasabah yang melakukan kredit agar ketika adanya musibah dan menyebabkan mandeknya angsuran, mestinya dilakukan reschedulle dari pemerintah.*(Oi)